Penistaan Martabat Perempuan >> adian husaeni
Juli 18, 2013
LAZIMNYA,
perempuan biasanya ingin tampil cantik, dan senang dipuji
kecantikannya. Sementara laki-laki lazimnya senang memandang
kecantikan perempuan. Keinginan naluriah itu ada pada manusia.
Rasulullah saw pun memberitahukan, bahwa
perempuan dikawini karena empat hal: kecantikannya, hartanya, nasabnya,
dan juga agamanya. Nabi memerintahkan untuk mengutamakan faktor agama,
jika rumah tangganya mau selamat. Toh, faktor cantik tidak dilarang
untuk dijadikan sebagai pertimbangan. Sebab, itu memang naluriah
laki-laki normal.
Al-Quran juga menjelaskan, salah satu
syahwat dunia adalah kecintaan kepada perempuan, anak-anak, harta
perniagaan,emas dan perak, sawah ladang, dan peternakan. (QS 3:14).
Islam bukanlah agama yang membunuh
naluri manusia, sehingga melarang pemeluknya untuk menikah dengan alasan
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tapi, Islam juga bukan
agama yang memerintahkan umatnya untuk mengumbar nafsu syahwatnya.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Islam menunjung
tinggi prinsip keadilan.Islam tidak membunuh hawa nafsu, tetapi
mengendalikan dan mengatur hawa nafsu, sesuai dengan konsep Sang
Pencipta, agar manusia meraih kebahagiaan (sa’adah); bukan sekedar
meraih kepuasan syahwat jasmaniah.
Seperti telah kita bahas dalam CAP-359,
peradaban Barat yang mencengkeram pemikiran manusia modern saat ini,
adalah peradaban yang secara ekstrim memuja ‘materi’.
Unsur-unsur fisik dieksploitasi untuk
kepuasan syahwat secara berlebihan. Sementara unsur “jiwa” (nafs)
diabaikan, dan diserahkan kepada kendali syahwat. Peradaban Barat modern
adalah peradaban yang memuja “kekuasaan, kekayaan, kecantikan, dan kepopuleran”
(power, wealth, beauty, popularity). Dalam posisi seperti inilah,
aspek kecantikan perempuan mendapatkan tempatnya. Para desainer dan juru
gambar berusaha keras bagaimana mengeksploitasi dan mendandani tubuh
perempuan agar “memuaskan”, menarik, dan membangkitkan syahwat
laki-laki. Para manajer eksploitasi syahwat itu tahu persis,
bagian-bagian mana dati tubuh perempuan yang harus dibuka dan bagian
mana yang harus ditutup, agar – kata mereka – tampak indah, cantik, dan
menarik.
Dunia industri kapitalis yang tidak
peduli halal-haram pun tak lupa memanfaatkan (mengeksploitasi) tubuh
perempuan agar menjadi daya tarik konsumen, meskipun terkadang, tak ada
hubungan antara produk dan tubuh perempuan. Misal, ditampilkannya
perempuan seksi untuk mengiklankan produk ban dan cat pengkilat mobil.
Tentu, perancang iklan itu paham betul, bahwa tampilnya perempuan
cantik dengan pakaian ala kadarnya bisa membangkitkan minat (syahwat)
pembeli.
Mantan Menteri P&K, Dr.Daoed Joesoef
memberikan kritik keras terhadap kontes-kontes kecantikan, dengan
menyebutkan bahwa: ”Pemilihan ratu-ratuan seperti yang dilakukan sampai
sekarang adalah suatu penipuan, di samping pelecehan terhadap hakikat
keperempuanan dari makhluk (manusia) perempuan. Tujuan kegiatan ini
adalah tak lain dari meraup keuntungan berbisnis, bisnis tertentu;
perusahaan kosmetika, pakaian renang, rumah mode, salon kecantikan,
dengan mengeksploitasi kecantikan yang sekaligus merupakan kelemahan
perempuan, insting primitif dan nafsu elementer laki-laki dan kebutuhan
akan uang untuk bisa hidup mewah.” (Dikutip dari buku “Dia dan Aku:
Memoar Pencari Kebenaran” (Jakarta: Kompas, 2006).
Itulah sebenarnya tujuan utama kegiatan
kontes kecantikan. Yakni, eksploitasi tubuh perempuan untuk keuntungan
bisnis tertentu. Ironisnya, kegiatan bisnis ini dikemas dengan
jargon-jargon sosial bahkan pendidikan. Seolah-olah, kontes kecantikan
perempuan adalah untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Padahal, menurut Daoed Joesoef, semua itu adalah bohong belaka. Praktik
kontes perempuan lebih merupakan bentuk eksploitasi terhadap perempuan.
Pakaian yang ala kadarnya – biasanya berupa bikini dan sejenisnya –
disyaratkan untuk dikenakan pada sesi tertentu agar tubuh kontestan
dapat dilihat dan diukur dengan jelas.
Kata Daoed Joesoef: ”Namun tampil
berbaju renang melenggang di catwalk, ini soal yang berbeda. Gadis itu
bukan untuk mandi, tapi disiapkan, didandani, dengan sengaja, supaya
enak ditonton, bisa dinikmati penonjolan bagian tubuh keperempuanannya,
yang biasanya tidak diobral untuk setiap orang… setelah dibersihkan lalu
diukur badan termasuk buah dada (badan)nya dan kemudian diperas susunya
untuk dijual, tanpa menyadari bahwa dia sebenarnya sudah dimanfaatkan,
dijadikan sapi perah. Untuk kepentingan dan keuntungan siapa?”
Itu pendapat Dr. Daoed Joesoef yang
dikenal sebagai salah satu tokoh sekuler di Indonesia. Jika tokoh
sekuler saja berani bersikap tegas, seyogyanya para tokoh Islam –
apalagi yang sedang memegang kendali kekuasaan – berani bersikap lebih
tegas lagi. Substansi dari kontes kecantikan yang mengumbar dan
mengeksploitasi keindahan tubuh perempuan adalah pola pikir dan kegiatan
yang keliru. Dalam istilah Islam, itu disebut hal yang batil dan
mungkar.
Kata Rasulullah, jika seorang melihat
kemungkaran, maka ubahlah dengan ‘tangan’-nya; jika tidak mampu, dengan
lisan (ucapannnya); dan jika tidak mampu juga, maka ubahlah dengan
hatinya. Tapi, ingkar dengan hati, tidak rela dan benci terhadap
kemungkaran, adalah selemah-lemahnya iman.
Tentu saja orang bisa melihat pada sisi
yang berbeda. Tergantung pada cara pandangnya terhadap realitas
(worldview). Seorang yang berpaham materialisme dan sekulerisme tidak
mempersoalkan masalah moral terhadap kontes semacam ini. Haram-halal,
berdosa atau berpahala, ibadah atau maksiat, bukanlah hal penting bagi
kaum materialis. Bagi mereka yang terpenting adalah kelimpahan materi,
ketenaran, dan puja-pujian terhadap kecantikannya.
Cobalah renungkan, betapa kasihannya
orang yang terjangkit pemikiran semacam ini. Ia salah. Ia tanpa sadar
telah dikendalikan oleh setan untuk mengumbar hawa nafsunya. Hawa nafsu
telah dijadikan Tuhan. Orang seperti ini, sudah tertutup mata, telinga,
dan hatinya dari kebenaran. (QS 45:23).
Al-Quran menyebutkan, bahwa orang yang
merasa benar dan merasa telah berbuat baik, padahal amalnya sesat dan
salah, adalah manusia yang paling merugi amalnya. (QS 18:103-104).
Kecantikan bagi seorang perempuan adalah
karunia dan sekaligus ujian Allah bagi si perempuan. Harusnya,
kecantikannya digunakan untuk beribadah dan dakwah. Ironisnya, biasa
kita saksikan, perempuan-perempuan yang terjebak oleh bujuk rayu setan
agar mengeksploitasi kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk
menggoncang-goncang syahwat lawan jenisnya. Dan itu tentu ada imbalan
yang menggiurkan, berupa kemikmatan hidup duniawi.
Untuk tampil cantik – tepatnya untuk
dikatakan cantik – sebagian perempuan mau melakukan tindakan hina
dengan membuka auratnya. Padahal, jika dirnungkan dengan hati tulus
ikhlas, jika jutaan orang sudah memuji-muji kecantikannya, apakah si
perempuan akan bahagia?
Seorang yang menggantungkan hidupnya
pada pujian manusia, tidaklah akan pernah meraih bahagia sejati. Segala
puji hanya layak dipanjatkan kepada Allah. Bukan manusia yang patut
dipuji degan melupakan Allah. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Sebab. kecantikan, ketampanan, ketenaran, kekayaan, kekuasaan, dapat
diraih seseorang hanya karena atas ijin dan karunia Allah. Jika Allah
menghendaki, dalam sekejap, semua kecantikan yang dipuja-puja itu bisa
sirna.
Si empunya kecantikan sepatutnya mau
berpikir, bahwa tak lama lagi, kecantikannya akan pudar . Kecantikan
yang diumbar dan ‘dijualnya’ akan sirna. Puji-pujian itu pun akan
hilang. Bersamaan dengan itu, muncullah perempuan-perempuan yang lebih
cantik dan lebih menarik dari dia. Sungguh kasihan, jika seorang
menggantungkan kebahagiannya pada pujian orang. Sebab, itu tak kan
diraihnya. Pujian manusia bisa buat puas sementara waktu. Bukan
kebahagiaan yang hakiki yang hanya bisa diraih oleh orang taqwa.
MARTABAT PEREMPUAN
Jurnal Islamia-Republika edisi 18 April
2013 menurunkan laporan utama tentang martabat perempuan dalam pandangan
Islam. Dalam artikelnya, “Teologi Perempuan dalam Islam”, Fahmi Salim –
Wasekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) –
mengungkapkan kisah seorang sahabat perempuan bernama Asma’ binti Yazid
yang mengajukan aspirasi kaumnya kepada Rasulullah saw. Di zaman
“pemaksaan paham kesetaraan gender” saat ini, aspirasi Asma’ perlu kita
renungkan.
Ketika itu, Asma’ mendatangi Rasulullah,
saat beliau sedang berkumpul dengan sejumlah sahabat laki-laki.
Berikut aspirasi kepada Rasulullah: “Demi Allah yang menjadikan ayah
dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh
muslimah. Tiada satu pun diantara mereka saat ini kecuali berpikiran
yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum
laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum
hawa terbatas aktivitasnya, menunggui rumah kalian para suami, dan yang
mengandungi anak-anak kalian. Sementara kalian kaum lelaki dilebihkan
atas kami dengan shalat berjamaah, shalat jumat, menengok orang sakit,
mengantar jenazah, bisa haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah.
Pada saat kalian haji, umrah atau berjihad, maka kami yang jaga harta
kalian, menjahit baju kalian dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami
tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?”
Rasul melihat-lihat para sahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya lebih baik dari Asma’?”
“Tidak wahai Rasul,” jawab sahabat.
Beliau lalu bersabda, “Kembalilah
wahai Asma’ dan beritahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta
keridhaannya, dan menyertainya ke mana pun ia pergi pahalanya setara
dengan apa yang kalian tuntut”. Asma’ lalu pergi keluar seraya
bertahlil dan bertakbir kegirangan. Kisah diatas direkam oleh Abu Nu’aim
al-Asbahani dalam kitab Ma’rifat al-Shahabah (Vol.22/420).
Aspirasi Asma’ berbeda secara
substansial dengan aspirasi kaum pegiat kesetaraan gender saat ini.
Asma’ tidak menuntut kesetaraan secara nominal; bahwa perempuan dan
laki-laki harus sama-sama aktif di ruang publik untuk kemajuan
pembangunan. Perempuan yang aktif mendidik anak-anaknya di rumah dengan
sungguh-sungguh tidak dianggap telah berpartisipasi dalam pembangunan.
Yang dituntut oleh Asma’ adalah kesetaraan substansial, bukan kesetaraan
nominal. Peran bisa berbeda. Tapi,peluang untuk meraih pahala dari
Allah adalah sama besarnya.
Karena itulah, setelah Rasulullah
memberitahukan bahwa istri yang taat dan diridhai suami serta menyertai
suaminya, mendapatkan pahala yang sama dengan pahala suaminya, maka
Asma’ bertakbir kegirangan. Asma’ tidak menuntut peran yang sama dengan
laki-laki. Yang dituntut adalah pahala dari Allah. Sungguh berbeda
tuntutan Asma’ dengan aktivis gender yang tidak menggunakan logika
pahala dan ibadah saat merumuskan paham “kesetaraan gender” sekuler.
Akibat adanya kekeliruan dalam
menggunakan tolok ukur “martabat perempuan” maka pemerintah dan DPR
telah sepakat untuk menetapkan angka minimal untuk pengurus perempuan
dalam partai politik adalah 30 persen. Peneliti INSISTS, Dr. Dinar Dewi
Kania dalam artikelnya yang berjudul “Martabat dan Keterwakilan
Perempuan”, mengupas secara tajam kekeliruan cara pandang UU nomor 8
tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan UU No 2 tahun 2011 tentang Partai
Politik dalam kaitan dengan martabat perempuan. Kedua Undang-Undang
itu telah memberi mandat kepada partai politik untuk melibatkan
perempuan sekurang-kurangnya 30% dari daftar caleg yang diusulkan
partai politik peserta pemilu.
“Umat Islam seharusnya dapat lebih
jeli menilai bahwa aturan tentang kuota caleg perempuan berpotensi
mengalihkan perhatian perempuan dari peran utama mereka sebagai ibu dan
pendidik anak-anak di rumah. Bahkan, dalam paham ini, tugas dan peran
sebagai Ibu rumah tangga dipandang sebelah mata, dianggap tidak lebih
mulia ketimbang aktif di parlemen. Apakah mereka berpikir, bahwa dengan
”memaksa” perempuan aktif di ruang publik dan meninggalkan keluarga,
maka laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dapat lebih leluasa
bergaul sampai larut malam, demi ”kemajuan bangsa”? Sementara suami
harus menjaga anak-anak bersama pembantu di rumah, menunggui istrinya
pulang dari raker berhari-hari di luar kota?” tulis Dr. Dinar Kania.
Seorang Muslim pasti memiliki cara
pandang yang khas terhadap “martabat perempuan”. Cara pandang muslim
berlandaskan pada prinsip keadilan dalam Islam. Islam mengajarkan
pemeluknya agar berperilaku adil kepada seluruh umat manusia tanpa
memandang harta, kedudukan atau jenis kelamin. Allah swt telah
menegaskan, bahwa” …. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dengan ayat ini,
ajaran Islam secara tegas menetapkan bahwa nilai kemuliaan seorang
manusia diukur dari iman, ketinggian akhlak dan perbuatan-perbuatan
baiknya.
Menyimak kekeliruan dan ketidakberadaban
kontes-kontes kecantikan, kita berharap tidak ada orang Muslim yang
ikut-ikutan mendukung berbagai jenis kontes kecantikan, semisal kontes
Miss World. Jadi, kontes Miss World bukanlah hanya soal baju, tapi soal
penetapan dan pemberian penghargaan martabat perempuan yang keliru.
Tidaklah tepat jika ada pemimpin daerah yang menyetujui acara semacam
itu, hanya karena pada kontes kali ini tidak lagi diperagakan parade
bikini. Andaikan kontes Miss World menggunakan mukena sekali pun,
kontes semacam itu tetap keliru, sebab martabat utama perempuan dinilai
berdasarkan unsur utama kecantikan fisiknya. Kontes semacam ini sudah
salah menetapkan martabat perempuan.
Tulisan ini hanyalah sekedar bentuk
taushiyah kepada sesama Muslim, yang masih terlibat dalam acara Miss
World dan sejenisnya. Semoga mereka menyadari kekeliruannya. Cobalah
bayangkan, andaikan di Hari Akhir nanti, penyelenggara acara kontes atau
pemimpin daerah yang menyetujui acara itu, ditanya oleh Allah SWT! Apa
jawab mereka? Apakah mereka merasa telah beramal shalih, karena berhasil
mendatangkan devisa? Apa bedanya dengan meraih penghasilan dari pajak
pelacuran dan perjudian?
Rasulullah bersabda: “Dua golongan
ahli neraka yang belum pernah saya lihat sebelumnya: para lelaki yang
membawa cambuk di tangannya seperti ekor sapi yang digunakan untuk
mencambuk manusia, dan perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi
telanjang, sesat dan menyesatkan. Kepala mereka seperti punuk unta yang
miring. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak mencium baunya.” (HR Muslim).
Sebagai pengemban perjuangan risalah
kenabian, tugas kita hanyalah menyampaikan titah baginda Rasul saw
tersebut kepada umat manusia, apa pun agamanya. Semoga bermanfaat bagi
yang mau mengikuti petunjuk-Nya.*
* Penulis Ketua Program Doktor
Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan
[CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Post a Comment